Seperti banyak
wilayah lainnya di Indonesia, daerah Simalungun masih banyak
ditutupi hutan-hutan lebat. Karena itu Pdt. August Theis pun harus membelah
hutan dalam perjalanannya dari daerah Toba menuju ke Pematang Raya. Menurut
wawancara beliau dengan A. Munthe, hutan tersebut masih dipenuhi oleh
hewan-hewan buas seperti harimau dan sejenisnya
sehingga beliau harus mempertaruhkan nyawanya untuk memenuhi misinya ke
Pematang Raya. Masyarakat
Simalungun masih bercocok tanam menggunakan ladang kering, yang
memaksa mereka berpindah-pindah. Setelah panen, mereka harus mencari lahan lain
dan baru empat tahun kemudian mereka dapat kembali menggunakan ladang yang sama
secara optimal. Dalam kesusahan
tersebut sebagian besar masyarakat Simalungun berjudi untuk mencari
penghiburan, mereka menjual segala harta miliknya bahkan diri sendiri sebagai
budak demi memenuhi nafsu mereka untuk berjudi.
Sebelum jemaat di Pematng Raya ada,
para Pendeta sudah terlebih dahulu ke Tanah Simalungun, yaitu Nomensen,
Guillaume, Simon, dan Agus Theis. Mereka sampai ke Pematang Raya. Dalam
perjalanan yang pertama mereka tinggal di Pematang Raya hanya sebentar, lalu
mereka meanjutkan perjalanan mereka ke Panei. Di Hutaulung, mereka jumpah
dengan Wan Ulung. Mereka berfikiran untuk kembali ke Pematang Raya, ternyata di
Tigaraja mereka berjumpah dengan Raja Dologsaribu, jadi mereka bersamaan pergi
ke Dologsaribu menuju Bahbulawan. Dari Dologasaribu, mereka meneruskan
perjalannan mereka ke Pematang Purba.
Pada 16 Maret 1903 ada surat yang
sampai kepada Nomensen yag berissi: Mulailah pekabaran Injil ke Tanah
Simalungun. Dan Nomensen sangat senang membaca surat itu. Mereka memulai
pekerjaan itu pertama di Tigaras. Jadi ditetapkanlah Pdt. Agus Theis sebagai
pendeta di pematang Raya, yaitu pada tanggal 1 September 1903, Agus Theis
bergegas dari Tigaras ke Pematang Raya. Perjalanan mereka adalah
Siambaton-Rajaihuta-Nagori-Bangunpanei-Bahbulawan, lalu bermalam di Bahbulawan.
Pada tanggal 2 September 1903 Agus Theis sampai di Pematang Raya. Pada tanggal
itu lah permulaan dari adanya jemaat di Pematang Raya. Karena Agus Thei tidak
memiliki rumah di pematang Raya, jadi dia menumpang di rumah Joria di pematang
raya, dia membawa seorang penginjil St. Theopilus.
Setelah Agus Theis 10 malam di
pematang Raya, sudah mulai tampak banyak tantangan, jika dilihat dari anggapan
orang, keliatan bahwa Pdt. Agus Theis ini tidak jadi tinggal di Pematangraya.
Perekonomian di Pematangrayapun sangat tinggi, terkhusus makanan. Oleh karena
itu, makanan Pdt. Agus Theis dijemput dari toba. Raja-raja pada saat itupun
kelihatan berberat hati untuk memebrikan tanah kepadanya. Dan berita itu telah
sampai kepada Nomensen, lalu Nomensen berkata, “mungkin Pdt. Agus Theis tidak
jadi tinggal di Pematangraya”. Agus Theis melihat hari itu semakin gelap, dan
kebetulan pada saat itu gendang dan terompet dimainkan, bagaikan suara gemuruh
untuk membangunkan tuan yang tidur yaitu Raja Raya adalah orang yang kuat melawan bangsa Belanda.
Meskipun demikian, Agus Theis tetap sabar dalam menghadapi tantangan itu, dia
hanya berprinsip agar Injil Tuhan dapat dimenangkan di Pematangraya. Besoknya
sampailah Pdt. Agus Theis di Pematangraya, dia membaca Firman Tuhan yang
tertulis dalam Yohanes 4:35: “Bukankah kamu mengatakan: Empat bulan lagi
tibalah musim menuai? Tetapi aku berkata kepadamu: Lihatlah sekelilingmu dan
pandanglah lading-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai”. Ayat
inilah yang dibacakan pada tanggal 3 September 1903.
Jadi dia bertanya-tanya dalam
dirinya: Apakah raya ini juga ikut dalam hal penuaian itu? Dalam sekejap ia menjawab pertanyaannya itu: pasti masa penuaian
itu ada! Maka paa hari itu juga datang suruhan Raja Raya, apakah dia tukang
kebun atau tidak.
Permulaan
Kebaktian Minggu
Pada
tanggal 6 September mereka kebaktian minggu di rumah mereka tinggal, Penginjil
St. Theopilus lah yang berkhotbah pada saat itu. Sebenarnya ada orag yang
datang untuk mendengarkan khotbah itu, tapi mereka risih kesana-kemari, karena
mereka tidak mengerti apa yang telah dikatakan St. Theopilus itu. Jadi mulai
saat itulah mereka kebaktian minggu meskipun tidak seberapa yang datang pada
saat kebaktian itu.
Pada
tanggal 9 September 1903 Wan Ulung datang menyampaikan kabar baik untuk
membangun rumah untuk Pdt. Agus Theis,
mendengar kabar itu Pdt. Agus Theis sangat senang. Pada saat pembangunan rumah
itu, Nomensen menyampaikan surat pada tanggal 11 September 1903 yang mengatakan
pemindahtempatan Aguss Theis ke Pulau Nias. Jadi besok harinnya Pdt. Agus Theis
pergi ke Tigaras untuk menyampaikan surat itu, dan dia meminta agar pekerjaan
di Raya tidak berhenti. Jadi setelah Pdt. Agus Theis kembali, yaitu pada
tanggal 17 September 1903, rumah itu sudah selesai dibangun.
Jadi
7 hari lagi Nomensen juga mengirim sebuah surata yang mengatakan: Pdt. Agus
Theis tidak jadi pinah ke Pulau Nias,diajak oleh Guru Ambrocius. Jadi dia juga berkata, rumah itu tetap miliki Agus
Theis. Meskipun Pdt. Agus Theis sudah menetap tinggal di Pematangraya, dia juga
sering pergi ke Tigaras, karena dia juga sudah memiliki sebuah rumah disana.
Pada
bulan November 1903, Agus Theis pergi ke Toba, lalu sepulang dari sana dia juga
pergi ke Sidamanik. Lalu setelah itu dia kembali ke Patangraya untuk mengadakan
pesta hari Natal. Pada tanggal 25 Desember mereka mengadakan hari Natal di
Pematangraya, dan itu adalah permulaan perayaan hari Natal.
Setelah
4 bulan rumah itu selesai dibangun, rumah itupun dimasuki pada tanggal 24
Januari 1904. Pada tanggal 1 Februari 1904, Guru Ambrociuspun memulai
pengajarannya yaitu kepada anak-anak di rumah Raja Raya, dimana murid dari guru
itu ada sebanyak 7 orang, yaitu: Ratailam Saragih, Jabi Saragih, Kori Saragih,
Sarialam Saragih, Gomok Saragih, Jariaham Saragih. Tidak berapa lama, rumah
sekolah itupun pindah ke rumah Aatean. Karena semakin banyak murid,
rumahsekolah itupun dipindahkan lagi ke Pangulu Balang. Guru juga tambah
disana, yaitu Guru Lukkas Hutagalung, Firidolin Silitonga.
Pada
bulan itu juga, Buluraya meminta sekolah serta pengajarnya. Pada bulan Juli
1904, seorang pujaan hatiya datang dari Aropah. Jadi Pdt. Agus Theis itu
menemput pujaan hatinya tersebut ke Medan dengan berjalan kaki. Besok harinya
mereka pergi ke ulau Pinang untuk diberkati. Setelah itu mereka pergi ke
Pematangraya dengan berjalan kaki. Jadi pada tanggal 28 Juli 1904 mereka
berhenti du Hutailing.
Setelah
ia menikah, diapun tidak kenal lelah untuk mengabarkan Injil tuhan dan
mendirikan jemaat di pematangraya. Sehingga guru-guru disana juga menjadi
bertambah, yaitu: Guru Gidion Gultom dari Rayausanng, Andareas Simangunsong
dari Buluraya. Juga dimulai di Dologsaribu, Hiteyurat, dan Rayapanribuan. Pada
tahun 1909 di Pematangraya sudah adayang dibaptis yaitu pada tanggal 25
Desember 1909, Morharjum Damanik (musa), mereka sekeluarga, jadi mereka yang
dibaptis ada 25 orang sekali dibaptis.
Sejak
saat itu orang yang dibaptis ada setiap tahun. Pada tanggal 10 April 1909, ada
surat bahwa yang menjadi guru, yaitu: Kenan Sinaga, Marcius Damanik, Justin
Saragih, Jacobus Sinaga, Jacobus Sinaga, Albinus Purba, Ferdinand Saragih,
Elias Purba, Herman Purba, Willem Saragih, Zakeus Purba, yaitu murid Domitian
Tambunan.
Pada
akhir tahun 1915 guru dari depok tamat dari sekolahnya, yaitu Jason Saragih
lalu tamat jugalah Wismar Saragih dari sekolahnya yaitu Seminarie Tapanuli.
Pada tanggal 7 Maret 1915 mulailah ada yang diberkati. Disamping dari pekabaran
Injil, Pdt. Agus Theis juga mengajari masyarakat setempat untuk berladang,
memelihara binatang peliharaan, dan menggunakan obat-obatan dari Dokter. Dari
permulaan, Domitian langsung mengajar masyarakat untuk belajar bernot kepada
pemuda dan anak-anak sekolah.
Dukacita
Meskipun
semakin bertambah orang yang percaya kepada Tuhan, tetapi pasti ada juga yang
namanya dukacita. Pada tanggal 12 Juni 1909, isteri dari Agus Theis meninggal.
Mereka berumahtangga hanya selama 6 tahun. Meskipun dia mengalami dukacita,
Pdt. Agus Theis tetap semangat untuk mengabarkan Injil Tuhan. Setelah Domitian
Tambunan pindah, lalu digantikan oleh Willem Hutabarat. Pada akhir tahun 1921,
seluruh jemaat Raya sangat sedih karena mendengar berita bahwa Pt. Agus Theis
pulang ke Aropah. Pada tanggal 14 April 1921, Pdt. Agus Theis mengucapkan
kata-kata perpisahan kepada jemaatdi Pematangraya.
Jadi
Pdt. H. Guillaume yang datang dari Saribu Dolog datang ke Pematangraya, sekali
sebulan. Tapi Pdt. Nomensen sudah membuat suatu peraturan di Jemaat
Pematangraya, yaitu membentuk suatu pengurus agama dan sekolah. Jaudin Saragih
yaitu Vorzitter, dan Jacobus Sinaga.
Setelah
pengurus gereja bertambah, pekabaran Injil di Pematangraya sudah mulai tampak,
orang percaya kepada tuhan sudah mulai bertambah. Pada ujung tahun 1926
melaporlah Kerkerad yang dibawakan
Ephorus Dr. J. Warneck bersama dengan Pdt. H. Guillaume dari Saribudolog. Maka
diputuskan bahwa harus ada guru pembantu yang disuruh menjadi pemimpin guru
jemaat yang sekolahnya pernah di tutup, antara lain : Di Bahtonang Marcius Damanik, di Huta Bayu Lamsana Saragih, di
Merek Hutadolog Jonas Purba.
Pada
tanggal 31 Januari 1926 sampailah Pd. Enos Pasaribu di Pematang Raya. Setelah
beberapa lama dia di Pematang Raya semakin banyaklah orang yang dibaptis,
dimana pada saat itu ia membaptis 145 orang. Tetapi pada saat itu kaum
perempuan tidak banya yang bersekolah. Dibentuklah PA-PA seperti di Sondi Raya
1926. Di Sirpang Dalig Raya Nagatongah, Mangadey dan Hapoltakan yaitu pada
tahun 1927.
Pesta Perak
Pada
tanggal 2 September 1928 gereja di Pematang Raya telah berusia 25 tahun yang
melayani di jemaat ini: Willem Hutabarat, St. Benjamin, St. Paulus Purba, St.
Tarianus Purba dan 4 orang lainnya. Jumlah jemaat Kristen pad saat itu 2002
orang. Pesta perak adalah merupakan pesta yang besar di resort raya,
sekolah-sekolah dan jemaat-jemaatpun hadir pada pesta ini. Diundang juga ari
pihak pemerintahan. Acara ini dilaksanakan di salah satu lapangan di Pematang
raya disebabkan karena Gerejanya yang terlalu kecil. Setelah acara selesai para
tamu yang diundang itu berziarah ke kuburan isteri Agus Theis di Pematang Raya.
Para pengurus Gereja merencanakan untuk mendirikan suatu Komite yang member
nasehat. Setelah beberapa tahun kemudian berdirilah Kongsilaita di Sondi Raya
yakni pada tahun 1931. Setelah Willem Hutabarat pindah, maka datanglah Daud
Saing. Pada tahun 1929 dibentuklah Volkschool di Pematang Raya yang menjadi
Verbolgschool. Datanglah guru Jason Saragih menjadi guru kepala dan dialah yang
menjadi Pengantar Jemaat. Pada tahun 1936 Kerkerad berencana membentuk sebuah
Gereja yang besar karena Gereja yang pertama yang telah rusak. Setelah 4 tahun,
Gereja yang direncanakan itupun selesai dan diresmikan pada tahun1939. Karena
faktor usia dari guru Jason untuk memimpin jemaat, maka Pengantar Jemmat itu
digantikan oleh Guru T. Belzazar Sinaga. Maka bertambah banyaklah kekristenan
disana, lalu banyak juga badan-badan pelayanan yang berdiri yang tanpa digaji.
Pada tahun 1942 berdirilah suatu perguruan saksi-saksi Kristus yang dipimpin
oleh Pdt. J. Wismar Saragih dan berdiri pula Kongsi Bibel Simalungun (Alkitab).
Lalu
Voorganger Jemaat Pematang Raya digantikan oleh Rudolf Purba. Maka bertambah
banyaklah jemaat pada saat itu. Didirikan juga Sekolah Bibel Vrouw di Pematang
Raya, dimana muridnya ada 4 orang, yaitu pada bulan Agustus 1948 yang dididik
oleh Pdt. J. Wismar Saragih, Pdt. A. Wilmar Saragih. Dan Loranna Purba. Mereka
lulus di bulan Agustus 1949. Setelah itu, semua jemaat yang berada di
Simalungun merasa perlu didirikan sekolah Pendeta. Maka pada tanggal 3
September 1930 berdirilah Sekolah Pendeta di Pematang Raya. Pada saat itu Pdt.
A. wilmar Saragih sudah lebih dua tahun berada disini. Salah seorang Pendeta F.
Siregar melanjutkan pendidikan ke Jakarta. Tujuh orang yang menjadi murid dari
sekolah tersebut ialah Frederik Damanik, Petrus Purba, Mailam Purba, Samulel
Dasuha, Bonarcius Saragih, Marinus Girsang, dan Williamer Saragih.Mereka
ditahbiskan menjadi Pendeta pada tanggal 28 September 1952.
Pada tahun 1951, jumlah orang
Kristen ada sebanyak 1963 orang. Pada tanggal 13 Januari 1952, Sondi Raya
memisahkan diri menjadi jemaat tersendiri yang beranggotakan 375 orang. Pada
tanggal 5 Oktober 1952, HKBPS berdiri sendiri. Pdt. J. Wismar Saragih pindah ke
Pematang Siantar menjadi wakil Ephorus HKBP-Simalungun, dan Pdt. A. Wilmar
Saragih menjadi Sekretaris Jenderal HKBPS, dan di Pematang Siantarlah yang
menjadi pusat., dan kantor Distrik diganti menjadi Kantor pusat. Ds. F. Siregar
juga pindah ke Seminarie Sipoholon menjadi Guru sekolah Pendeta, jadi Pendeta
Jenus Purbalah yang menjadi Pendeta di Pematang Raya yang sebelumnya melayani
di Nagoridolog.
Pimpinan
majelis jemaat GKPS pamatang raya
NO
|
NAMA
|
TAHUN
|
1
|
Guru
Jason Saragih
|
1936
|
2
|
Guru T. Belzazar Sinaga
|
1939
|
3
|
Rudolf Purba
|
1948
|
4
|
Marif
Hasibuan
|
s/d 1970
|
5
|
St
Loren Sinaga, BA
|
1970 -
1985
|
6
|
St
Rudiman Purba, BA
|
1985 –
1990 (PAW)
|
7
|
St
Rudiman Purba, BA
|
1990 -
2000
|
8
|
St
Baris Saragih
|
2000 -
2010
|
8
|
St
Jonni Wanson Purba
|
2010 -
sekarang
|
LOGO TAHUN KEMITRAAN GKPS 2015